Oleh:
Rhenald Kasali
Saat ini banyak sekali pemerintah
daerah kabupaten yang mengeluh tak punya uang. Anggaran yang ada hanya cukup
untuk bayar gaji karyawan. Mana ada uang untuk membangun sekolah dan fasilitas
publik? Mana uang untuk menggali potensi sumber daya alam? Bupati birokrat yang
biasa hidup dari atas tentu akan berteriak minta agar jatah uangnya ditambah.
Tadinya saya kira yang kesulitan
saja yang berteriak, tapi belakangan saya dengar daerah-daerah kaya ternyata
juga melakukan hal serupa. Apa yang mereka perjuangkan? Betul, uang!
Seakan-akan tanpa uang yang besar mereka akan mati dan daerahnya akan berontak.
Betulkah tanpa uang dan sumber daya
alam suatu kabupaten akan mati kelaparan? Tentu saja tidak. Saya kira semua
tentu tahu Jepang adalah bangsa yang tak punya apa-apa, tapi rakyat di negara
ini hidup sejahtera. Manusia yang tak mau hidup miskin tentu akan memutar
otaknya. Jadi, kata kuncinya adalah akal. Tanpa modal, tapi bisa kaya raya dan
rakyatnya sejahtera.
Sejarah dunia usaha sesungguhnya
juga kaya dengan cerita seperti ini. Lahirnya pengusaha-pengusaha besar selalu
dimulai bukan dengan kekuatan uang, tapi akal dan nama baik; bukan akal-akalan.
Hampir setiap minggu saya mengundang pengusaha sejati dalam sebuah talkshow di
radio M97 di Jakarta. Anda tahu apa kesimpulannya? Benar: 99% mengatakan modal
awalnya bukan uang. Mereka jadi besar karena akal.
Di dunia internasional, akal juga
pegang peranan penting. Sebuah perusahaan dengan aset jutaan dolar bisa berpindah
tangan begitu saja dalam waktu singkat ke tangan orang-orang yang panjang akal.
Sebaliknya, orang yang kurang akal
bisa kehilangan segala-galanya. Mereka cuma mengutak-atik angka, lalu mencari
penjamin yang berani. Bayarnya ternyata juga tak pakai uang. Apakah mereka
penipu? Saya tidak terlalu tahu persis, tapi kalau ditelusuri rangkaiannya,
Saudara-Saudara bisa berdecak kagum. Kok bisa membeli tanpa uang. Sayang,
contoh-contoh yang ada di negara kita lebih banyak warna penipuannya ketimbang
akalnya, sehingga tidak banyak yang bisa dijadikan contoh.
Salah satu contoh yang sedang
banyak diidolakan kaum muda dunia adalah Masayoshi San, CEO dan founder
Softbank Corporation-Jepang. Orang Jepang keturunan Korea
ini segera kembali ke Jepang setelah menyelesaikan studinya di University of California-Berkeley. Sejak kuliah ia
memang sudah dikenal sebagai pria yang panjang akal.
Awalnya tak punya produk dan tak
punya uang. Suatu ketika ia terlihat membuka-buka buku direktori yang berisi
nama-nama pengajar di kampusnya. Apa yang ia cari? Ia mencari profesor
microcomputer yang mau diajak bekerja sama. Ia katakan bahwa ia tak punya uang,
tapi punya gagasan-gagasan jenius. Gagasan-gagasan itu katanya harus unik,
tidak mudah ditiru orang lain, dan dalam 10 tahun ke depan dapat menjadikan
perusahaan sebagai pemimpin industri.
Sebagian tentu saja menolak
tawarannya. Tapi, begitu coretan-coretannya lebih jelas, beberapa mau
bergabung. Kelak, karya cipta itu dibeli Sharp seharga US$ 1 juta. Produknya
bernama Sharp Wizard, yaitu komputer sebesar kalkulator yang berfungsi sebagai
kamus untuk delapan bahasa. Setelah uang didapat, barulah orang-orang itu
dibayar.
Hal serupa dilakukannya ketika
kembali ke Jepang. Ia selalu mengatakan: ”Saya hanya punya sedikit uang dan
pengalaman bisnis, tapi saya benar-benar memiliki keinginan yang meluap-luap
untuk sukses.” Apa yang ia lakukan?
Dalam sebuah pameran elektronika
yang besar ia menyewa sebuah stan besar, sebesar stan yang dibangun merek-merek
terkenal: Sony, Toshiba dan sebagainya. Ia melihat banyak komputer yang mulai
dijual tapi tidak ada software-nya. Sementara itu orang-orang muda pembuat
software tidak tahu bagaimana menjualnya. Ia lalu mengundang para pembuat
software berpameran di stan itu. Free, gratis. ”Saya buatkan brosurnya dan
lain-lain. Saya tak punya produk, tak punya banyak uang, tapi saya berikan
mereka pameran gratis. Mereka bilang saya bodoh. Tak punya uang tapi memberikan
tempat gratis. Oke, saya akan jalan terus sampai nanti mereka bisa mengerti apa
artinya bisnis ini.”
Masayoshi San benar. Beberapa bulan
kemudian order datang, yaitu dari Joshin Denki, sebuah jaringan penjual PC
terbesar di Jepang. Ia tidak mengenal Joshin Denki, tapi Denki bilang tanyakan
pada Sharp, karena Joshin Denki adalah penjual Sharp terbesar di Jepang. Sharp
ternyata memberikan rekomendasi, dan terjadilah deal. Setelah Denki menjual
produk-produk Softbank, mau tidak mau yang lain juga ingin menyalurkan produk
Softbank.
Itulah awal penting bagi seorang
entrepreneur. Akal pertamanya diarahkan untuk membangun reputasinya, brand-nya.
Saya sungguh yakin ada beberapa bupati yang panjang akal seperti Masayoshi San.
Mungkin daerahnya tidak cukup kaya, ia tidak punya banyak uang, tapi sadar
betul sesuatu itu tidak selalu harus dimulai dari uang. Andai kata saja
daerah-daerah bisa mendapatkan orang-orang panjang akal ini, daerahnya pasti
akan menjadi sejahtera kendati pada awalnya semua pasti tidak mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar