Sabtu, 07 Mei 2016

KEADILAN SOSIAL



“Selama lebih dari sepuluh tahun saya secara intensif mencoba menemukan makna istilah “keadilan sosial”. Usaha itu gagal; atau lebih tepatnya, pada akhirnya saya sampai kepada kesimpulan bahwa bagi masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia yang bebas kata itu sama sekali tak bermakna”.

Pernyataan di atas dibuat oleh pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi, Friedrich Hayek yang beraliran liberal, pada 1976. Manakala kita mencermati penggunaan istilah “keadilan sosial” dalam lingkungan politik saat ini, maka kebenaran dari pernyataan Hayek tersebut hampir tak terbantahkan.

Karena, apa yang hendak dicapai dengan tambahan kata “sosial” tersebut? Tanpa kata itupun “keadilan” dapat didefinisikan dengan jelas. Keadilan merupakan suatu prinsip universal yang dapat dijadikan takaran bagi semua tindakan politik dan yang legitimitas moralnya dapat diuji. Ini mensyaratkan antara lain aturan yang sama bagi semua orang.

Justru aturan yang sama bagi semua orang inilah yang tidak dikehendaki oleh pembela “keadilan sosial” terjadi dalam politik. Ia tidak menghendaki setiap orang diperlakukan sesuai dengan penerapan aturan yang sama. Ia ingin meredistribusi materi dalam suatu bentuk tertentu. Ini hanya dapat ia lakukan jika ia diperlakukan secara tidak sama. Berbeda dari orang-orang yang atas dasar kemanusiaan membantu mengurangi kemiskinan dan penderitaan, penganut “keadilan sosial” hendak menimbulkan kesan bahwa ada ukuran moral yang menyeluruh terhadap niat redistribusinya itu. Setiap orang harus mendapatkan apa yang memang sudah menjadi bagiannya. Padahal,  benar seperti yang Hayek kemukakan, tidak ada ukuran  yang seperti tersebut di atas.

“Tak ada seorang pun sampai hari ini yang telah berhasil menemukan satu-satunya aturan  umum untuk setiap kasus di mana aturan itu mungkin diterapkan.  Suatu aturan yang kiranya dapat dijadikan acuan untuk menyimpulkan apa sebenarnya ‘keadilan sosial’ itu.

Apa tepatnya yang berhak diperoleh setiap orang? Tidak sedikit orang percaya bahwa setiap orang entah bagaimana caranya harus mendapatkan jatah dari seluruh benda materi yang memang diperuntukkan buat dirinya pribadi atau sebagai anggota kolektif. Namun, pertanyaan yang timbul sekarang adalah haruskah orang yang malas mendapatkan bagian yang sama seperti orang yang rajin? Atau tidak sama? Kalau tidak sama, bagaimana mengatur besar atau kecilnya hak mereka? Sampai hari ini pengetahuan manusia belum mampu menjawab pertanyaan ini dengan tepat.  Yang ada hanyalah harapan atas keadilan tuhan di alam baka atau - di dunia ini -  harapan atas hak-hak yang dipilih secara sembarangan. Tuntutan yang biasanya sangat bernuansa kekuasaan politik.

Justru karena “keadilan sosial” seperti ini bukan merupakan cita-cita yang dapat didefinisikan maka terbukalah ruang gerak yang hampir tak terbatas bagi terjadinya proses pengalihan suatu kelompok masyarakat kepada kelompok yang lain. Setiap orang dapat menerima, setiap orang dapat memberi (atau dengan formulasi yang lebih realistis: setiap orang dapat dipaksa untuk memberi). Sebenarnya tidak ada yang puas, karena tidak ada keadaan akhir yang dapat didefinisikan di mana “keadilan sosial” itu kiranya dapat terejawantahkan. Apabila suatu kelompok memperoleh hak istimewa maka kelompok yang lain juga harus mendapatkannya. Ini bisa berjalan dengan adanya  peminggiran kelompok tertentu (misalnya para penganggur yang menjadi korban sindikat perusahaan penentu tarif [Tarifkartell] yang dikehendaki pemerintah), dengan kehidupan yang mengorbankan generasi masa depan atau melalui hutang publik yang berlebihan.  

Semua gambaran tentang pembagian yang berdasarkan keadilan sosial mengakibatkan semakin meningkatnya praktek perwalian dalam suatu masyarakat.

Keadilan sebagai norma universal bagi apa yang layak menjadi hak setiap orang hanya punya makna jika tidak ada tuntutan yang bersifat sewenang-wenang terhadap orang lain. Tapi justru melindungi hak formal atas apa yang telah diperoleh seseorang  sebagai “miliknya sendiri”. Apa yang menjadi hak manusia adalah segala sesuatu yang telah ia peroleh tanpa melanggar hak orang lain.  Setiap manusia punya hak yang tidak bisa dibeli, yaitu hak atas perlindungan terhadap diri dan harta bendanya. Inilah gagasan liberal tentang keadilan. Tuntutannya bersifat sederhana dan manusiawi karena tidak menuntut di atas kemampuan pengetahuan manusia. Politik yang dapat melindungi kekebasan setiap orang dari paksaan dan kekerasan hanyalah dapat terwujud jika politik itu dilandasi gagasan keadilan seperti dimaksud di atas.

Lalu, bukankah keadilan yang seperti ini merupakan ekspresi dari kekejaman yang paling menakutkan seperti yang diduga oleh banyak penentang liberalisme?

Sama sekali tidak benar! Justru dengan asas perlindungan terhadap hak-hak milik pribadi tersebut liberalisme sekaligus juga telah menutup kemungkinan terjadinya eksploitasi dengan kekerasan yang seringkali dipraktekkan kekuasaan politik. Hampir semua bencana besar kemiskinan dan kelaparan dalam sejarah dunia disebabkan oleh penggunaan kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang – jadi bukan karena terlalu banyak kebebasan dalam arti liberal. Kemenangan atas kemiskinan merupakan salah satu kemenangan besar liberalisme. Sejauh ini para penganut liberal (kecuali Hayek) boleh saja mengklaim bahwa keadilan mereka adalah “keadilan ssosial”. “Sosial” oleh para penganut paham liberal dikembalikan lagi kepada makna asalnya seperti yang dapat ditemukan dalam tulisan Edmund Burke. Kebajikan-kebajikan materi negara liberal harus tetap dilandasi pada prinsip mempertahankan kebebasan dan persamaan hak umum.


“Kebebasan yang saya maksud adalah kebebasan sosial. Yaitu suatu keadaan di mana kekebasan itu terjamin oleh adanya persamaan batasan; suatu keadaan di mana tak ada manusia atau sekelompok manusia yang menggunakan kebebasannya sebagai alat untuk melanggar kebebasan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat. Kebebasan seperti pada hakikatnya adalah nama lain dari keadilan”                                                                              

Lagi pula, istilah “sosial” diambil dari bahasa Latin “societas” yang berarti masyarakat.  Tentu saja seluruh masyarakat harus dilayani, jadi bukan kepentingan-kepentingan terorganisir yang menyalahgunakan kekuasaan politik untuk tujuan pribadi. Seperti inilah pemahaman para bapak ekonomi pasar sosial (soziale Marktwirtschaft) tentang istilah sosial tersebut ketika mereka menyatakan bahwa sebuah negara liberal bukan  menjadi kuat karena melayani egoisme-egoisme kelompok, melainkan karena menentang egoisme-egoisme tersebut.
Kalau demikian, “keadilan sosial” kiranya telah menjadi kebalikan dari apa yang dipahami politik dewasa ini tentang istilah tersebut. “Keadilan sosial” pada dasarnya tidak lain daripada keadilan.
         

Literatur yang layak dibaca untuk topik “Keadilan Sosial” 

Detmar Doering: Soziale Gerechtigkeit: Die gefährliche Illusion? (Keadilan Sosial: Ilusi yang berbahaya?), dalam:  Reflexion, nr. 29, April 1993, h. 27ff

Ringkasan singkat  dan mudah dibaca yang membongkar sifat arkeistik dari pandangan-pandangan populer tentang “keadilan sosial”.



Friedrich August von Hayek: Recht, Gesetzgebung und Freiheit (Hukum, Pembuatan Undang-Undang dan Kebebasan), edisi kedua, Muenchen (Penerbit Moderne Industrie) 1986

Volume kedua dari trilogi  (aslinya dalam bahasa Inggris: Law, Legislation and Liberty, 1973ff) yang meneliti secara filosofis-hukum asas-asas suatu masyarakat bebas dari aspek liberal ini diberi judul yang tepat: “Ilusi Keadilan Sosial”.


Kekeliruan Berpikir


"Tetapi janganlah pula kita sesat
karena mengunggulkan dan menunggalkan logika itu
dengan tidak mengenal batas dan kelemahannya."

Tan Malaka, Madilog



B
erpikir adalah aktivitas yang dilakukan oleh seluruh manusia. Suatu aktivitas yang berhubungan erat dengan kerja akal. Akal manusialah yang menjadi salah satu alat menyerap pengetahuan, menemukan dan membedakan mana yang benar atau keliru.

Namun, manusia yang memiliki pengetahuan terbatas ataupun belum memaksimalkan fungsi akalnya terkadang terjebak kepada kekeliruan atau kerancuan dalam berpikir. Hal ini wajar, karena akal bekerja berdasarkan hukum-hukum universal tertentu. Ketidaktaatan terhadap hukum-hukum universal dalam berpikir, menjadikan seseorang melakukan kekeliruan atau kesalahan. Dalam ungkapan yang ekstrem, seseorang yang tidak menaati hukum berpikir dapatlah dikatakan  sebagai seseorang yang tidak rasional (irrasional).

Orang kemudian mengenal hukum-hukum  berpikir rasional yang universal itu dengan istilah Logika. Suatu istilah yang diperkenalkan oleh Aristoteles, filsuf Yunani kuno. Di dunia Arab (Islam), Logika kemudian populer dengan istilah Mantiq. Dan kekeliruan berpikir adalah salah satu bagian penting yang dibahas dalam studi tentang logika.

Bagi setiap orang , apalagi kaum cendekiawan, menghindari melakukan kekekeliruan dalam berpikir ini menjadi suatu keharusan. Sebab dari proses berpikirlah kehidupan, budaya, tradisi, bahkan sebuah peradaban dibangun. Bukankah peradaban yang berakar dan dibangun dari cara berpikir yang salah akan menyengsarakan manusia. Jalaludin  Rahmat, cendekiawan muslim  kenamaan Indonesia itu bahkan menempatkan kekeliruan berpikir sebagai salah satu penghambat pertama dan utama proses rekayasa sosial dalam masyarakat.

Banyak pengelompokan yang dilakukan oleh berbagai pemikir terhadap aspek-aspek yang termasuk ke dalam  kekeliruan berpikir, baik secara umum maupun secara detail. Tapi dari berbagai pembagian aspek yang berhubungan dengan kekeliruan itu, pembagian oleh Mundiri (Logika, 1994), sepertinya merupakan salah satu pembagian yang cukup akurat dan sederhana. Mundiri membagi jenis-jenis kekeliruan itu ke dalam 3 kelompok besar ; kekeliruan formal yang berhubungan dengan bentuk dari premis-premis dalam silogisme, kekeliruan informal yang berhubungan dengan aspek materi dari suatu kesimpulan logis, dan kekeliruan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan pelak-pelik ungkapan dan tata bahasa yang kemudian menyebabkan kesalahan penafsiran. Ketiga kelompok besar ini, memerlukan uraian tersendiri untuk dapat kita ketahui bagian-bagiannya.

Terjadinya kesalahan berpikir, memang terkadang gampang-gampang susah untuk dideteksi. Saya tak hendak mengkritik Tan Malaka dalam kutipan yang nongkrong di awal tulisan ini, dengan mengatakan bahwa dia telah melakukan kekeliruan berpikir dengan ungkapannya yang menyatakan bahwa mengunggulkan logika dapat menyesatkan kita. Saya justru ingin memberikan contoh kesalahan berpikir dari mereka yang mempelajari logika an sich. Bukankah sebuah ironi bila logika mengajarkan kita untuk taat pada kebenaran (hukum akal) dan memaksimalkan fungsi dan kerja akal itu sendiri, mereka yang mempelajarinya justru tak mengenal substansi dari apa yang dinamakan berpikir dan tak paham atau tahu definisi sejati dari akal (alat berlogika) itu sendiri.

Tan Malaka mungkin benar dalam mengomentari masalah logika, sehingga ia menggabungkannya bersama paham materialisme dialektika. Ibnu Taymiyah mungkin juga benar dengan menganggap kafir mereka yang belajar logika, karena tak memberikan pengaruh pada perilaku keberagamaan mereka. Karenanya, setelah belajar logika dan menghilangkan kerancuan berpikir itu kita sudah mesti tahu tentang apa yang harus kita lakukan selanjutnya?  What next gitchu lo? Kalo ga tau juga, cara berpikir kita sepertinya masih tetap bermasalah deh kayaknya [ Gobah Surabah, 03/07/04

Awalnya Selalu bukan Uang



Oleh: Rhenald Kasali
Saat ini banyak sekali pemerintah daerah kabupaten yang mengeluh tak punya uang. Anggaran yang ada hanya cukup untuk bayar gaji karyawan. Mana ada uang untuk membangun sekolah dan fasilitas publik? Mana uang untuk menggali potensi sumber daya alam? Bupati birokrat yang biasa hidup dari atas tentu akan berteriak minta agar jatah uangnya ditambah.
Tadinya saya kira yang kesulitan saja yang berteriak, tapi belakangan saya dengar daerah-daerah kaya ternyata juga melakukan hal serupa. Apa yang mereka perjuangkan? Betul, uang! Seakan-akan tanpa uang yang besar mereka akan mati dan daerahnya akan berontak.
Betulkah tanpa uang dan sumber daya alam suatu kabupaten akan mati kelaparan? Tentu saja tidak. Saya kira semua tentu tahu Jepang adalah bangsa yang tak punya apa-apa, tapi rakyat di negara ini hidup sejahtera. Manusia yang tak mau hidup miskin tentu akan memutar otaknya. Jadi, kata kuncinya adalah akal. Tanpa modal, tapi bisa kaya raya dan rakyatnya sejahtera.
Sejarah dunia usaha sesungguhnya juga kaya dengan cerita seperti ini. Lahirnya pengusaha-pengusaha besar selalu dimulai bukan dengan kekuatan uang, tapi akal dan nama baik; bukan akal-akalan. Hampir setiap minggu saya mengundang pengusaha sejati dalam sebuah talkshow di radio M97 di Jakarta. Anda tahu apa kesimpulannya? Benar: 99% mengatakan modal awalnya bukan uang. Mereka jadi besar karena akal.
Di dunia internasional, akal juga pegang peranan penting. Sebuah perusahaan dengan aset jutaan dolar bisa berpindah tangan begitu saja dalam waktu singkat ke tangan orang-orang yang panjang akal.
Sebaliknya, orang yang kurang akal bisa kehilangan segala-galanya. Mereka cuma mengutak-atik angka, lalu mencari penjamin yang berani. Bayarnya ternyata juga tak pakai uang. Apakah mereka penipu? Saya tidak terlalu tahu persis, tapi kalau ditelusuri rangkaiannya, Saudara-Saudara bisa berdecak kagum. Kok bisa membeli tanpa uang. Sayang, contoh-contoh yang ada di negara kita lebih banyak warna penipuannya ketimbang akalnya, sehingga tidak banyak yang bisa dijadikan contoh.
Salah satu contoh yang sedang banyak diidolakan kaum muda dunia adalah Masayoshi San, CEO dan founder Softbank Corporation-Jepang. Orang Jepang keturunan Korea ini segera kembali ke Jepang setelah menyelesaikan studinya di University of California-Berkeley. Sejak kuliah ia memang sudah dikenal sebagai pria yang panjang akal.
Awalnya tak punya produk dan tak punya uang. Suatu ketika ia terlihat membuka-buka buku direktori yang berisi nama-nama pengajar di kampusnya. Apa yang ia cari? Ia mencari profesor microcomputer yang mau diajak bekerja sama. Ia katakan bahwa ia tak punya uang, tapi punya gagasan-gagasan jenius. Gagasan-gagasan itu katanya harus unik, tidak mudah ditiru orang lain, dan dalam 10 tahun ke depan dapat menjadikan perusahaan sebagai pemimpin industri.
Sebagian tentu saja menolak tawarannya. Tapi, begitu coretan-coretannya lebih jelas, beberapa mau bergabung. Kelak, karya cipta itu dibeli Sharp seharga US$ 1 juta. Produknya bernama Sharp Wizard, yaitu komputer sebesar kalkulator yang berfungsi sebagai kamus untuk delapan bahasa. Setelah uang didapat, barulah orang-orang itu dibayar.
Hal serupa dilakukannya ketika kembali ke Jepang. Ia selalu mengatakan: ”Saya hanya punya sedikit uang dan pengalaman bisnis, tapi saya benar-benar memiliki keinginan yang meluap-luap untuk sukses.” Apa yang ia lakukan?
Dalam sebuah pameran elektronika yang besar ia menyewa sebuah stan besar, sebesar stan yang dibangun merek-merek terkenal: Sony, Toshiba dan sebagainya. Ia melihat banyak komputer yang mulai dijual tapi tidak ada software-nya. Sementara itu orang-orang muda pembuat software tidak tahu bagaimana menjualnya. Ia lalu mengundang para pembuat software berpameran di stan itu. Free, gratis. ”Saya buatkan brosurnya dan lain-lain. Saya tak punya produk, tak punya banyak uang, tapi saya berikan mereka pameran gratis. Mereka bilang saya bodoh. Tak punya uang tapi memberikan tempat gratis. Oke, saya akan jalan terus sampai nanti mereka bisa mengerti apa artinya bisnis ini.”
Masayoshi San benar. Beberapa bulan kemudian order datang, yaitu dari Joshin Denki, sebuah jaringan penjual PC terbesar di Jepang. Ia tidak mengenal Joshin Denki, tapi Denki bilang tanyakan pada Sharp, karena Joshin Denki adalah penjual Sharp terbesar di Jepang. Sharp ternyata memberikan rekomendasi, dan terjadilah deal. Setelah Denki menjual produk-produk Softbank, mau tidak mau yang lain juga ingin menyalurkan produk Softbank.
Itulah awal penting bagi seorang entrepreneur. Akal pertamanya diarahkan untuk membangun reputasinya, brand-nya. Saya sungguh yakin ada beberapa bupati yang panjang akal seperti Masayoshi San. Mungkin daerahnya tidak cukup kaya, ia tidak punya banyak uang, tapi sadar betul sesuatu itu tidak selalu harus dimulai dari uang. Andai kata saja daerah-daerah bisa mendapatkan orang-orang panjang akal ini, daerahnya pasti akan menjadi sejahtera kendati pada awalnya semua pasti tidak mudah.