“Selama lebih dari
sepuluh tahun saya secara intensif mencoba menemukan makna istilah “keadilan
sosial”. Usaha itu gagal; atau lebih tepatnya, pada akhirnya saya sampai kepada
kesimpulan bahwa bagi masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia yang bebas
kata itu sama sekali tak bermakna”.
Pernyataan di atas
dibuat oleh pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi, Friedrich Hayek yang beraliran liberal, pada 1976. Manakala kita
mencermati penggunaan istilah “keadilan sosial” dalam lingkungan politik saat
ini, maka kebenaran dari pernyataan Hayek tersebut hampir tak terbantahkan.
Karena, apa yang hendak dicapai
dengan tambahan kata “sosial” tersebut? Tanpa kata itupun “keadilan” dapat
didefinisikan dengan jelas. Keadilan merupakan suatu prinsip universal yang
dapat dijadikan takaran bagi semua tindakan politik dan yang legitimitas
moralnya dapat diuji. Ini mensyaratkan antara lain aturan yang sama bagi semua
orang.
Justru aturan yang sama bagi
semua orang inilah yang tidak dikehendaki oleh pembela “keadilan sosial”
terjadi dalam politik. Ia tidak menghendaki setiap orang diperlakukan sesuai
dengan penerapan aturan yang sama. Ia ingin meredistribusi materi dalam suatu
bentuk tertentu. Ini hanya dapat ia lakukan jika ia diperlakukan secara tidak
sama. Berbeda dari orang-orang yang atas dasar kemanusiaan membantu mengurangi
kemiskinan dan penderitaan, penganut “keadilan sosial” hendak menimbulkan kesan
bahwa ada ukuran moral yang menyeluruh terhadap niat redistribusinya itu.
Setiap orang harus mendapatkan apa yang memang sudah menjadi bagiannya.
Padahal, benar seperti yang Hayek kemukakan, tidak ada ukuran yang
seperti tersebut di atas.
“Tak
ada seorang pun sampai hari ini yang telah berhasil menemukan satu-satunya
aturan umum untuk setiap kasus di mana aturan itu mungkin
diterapkan. Suatu aturan yang kiranya dapat dijadikan acuan untuk
menyimpulkan apa sebenarnya ‘keadilan sosial’ itu.
Apa tepatnya yang berhak
diperoleh setiap orang? Tidak sedikit orang percaya bahwa setiap orang entah
bagaimana caranya harus mendapatkan jatah dari seluruh benda materi yang memang
diperuntukkan buat dirinya pribadi atau sebagai anggota kolektif. Namun,
pertanyaan yang timbul sekarang adalah haruskah orang yang malas mendapatkan
bagian yang sama seperti orang yang rajin? Atau tidak sama? Kalau tidak sama,
bagaimana mengatur besar atau kecilnya hak mereka? Sampai hari ini pengetahuan
manusia belum mampu menjawab pertanyaan ini dengan tepat. Yang ada
hanyalah harapan atas keadilan tuhan di alam baka atau - di dunia ini -
harapan atas hak-hak yang dipilih secara sembarangan. Tuntutan yang biasanya
sangat bernuansa kekuasaan politik.
Justru karena “keadilan sosial”
seperti ini bukan merupakan cita-cita yang dapat didefinisikan maka terbukalah
ruang gerak yang hampir tak terbatas bagi terjadinya proses pengalihan suatu
kelompok masyarakat kepada kelompok yang lain. Setiap orang dapat menerima,
setiap orang dapat memberi (atau dengan formulasi yang lebih realistis: setiap
orang dapat dipaksa untuk memberi). Sebenarnya tidak ada yang puas, karena
tidak ada keadaan akhir yang dapat didefinisikan di mana “keadilan sosial” itu
kiranya dapat terejawantahkan. Apabila suatu kelompok memperoleh hak istimewa
maka kelompok yang lain juga harus mendapatkannya. Ini bisa berjalan dengan
adanya peminggiran kelompok tertentu (misalnya para penganggur yang
menjadi korban sindikat perusahaan penentu tarif [Tarifkartell] yang
dikehendaki pemerintah), dengan kehidupan yang mengorbankan generasi masa depan
atau melalui hutang publik yang berlebihan.
Semua gambaran tentang pembagian
yang berdasarkan keadilan sosial mengakibatkan semakin meningkatnya praktek
perwalian dalam suatu masyarakat.
Keadilan sebagai norma universal
bagi apa yang layak menjadi hak setiap orang hanya punya makna jika tidak ada
tuntutan yang bersifat sewenang-wenang terhadap orang lain. Tapi justru
melindungi hak formal atas apa yang telah diperoleh seseorang sebagai
“miliknya sendiri”. Apa yang menjadi hak manusia adalah segala sesuatu yang telah
ia peroleh tanpa melanggar hak orang lain. Setiap manusia punya hak yang
tidak bisa dibeli, yaitu hak atas perlindungan terhadap diri dan harta
bendanya. Inilah gagasan liberal tentang keadilan. Tuntutannya bersifat
sederhana dan manusiawi karena tidak menuntut di atas kemampuan pengetahuan
manusia. Politik yang dapat melindungi kekebasan setiap orang dari paksaan dan
kekerasan hanyalah dapat terwujud jika politik itu dilandasi gagasan keadilan
seperti dimaksud di atas.
Lalu, bukankah keadilan yang seperti
ini merupakan ekspresi dari kekejaman yang paling menakutkan seperti yang
diduga oleh banyak penentang liberalisme?
Sama sekali tidak benar! Justru
dengan asas perlindungan terhadap hak-hak milik pribadi tersebut liberalisme
sekaligus juga telah menutup kemungkinan terjadinya eksploitasi dengan
kekerasan yang seringkali dipraktekkan kekuasaan politik. Hampir semua bencana
besar kemiskinan dan kelaparan dalam sejarah dunia disebabkan oleh penggunaan
kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang – jadi bukan karena terlalu banyak
kebebasan dalam arti liberal. Kemenangan atas kemiskinan merupakan salah satu
kemenangan besar liberalisme. Sejauh ini para penganut liberal (kecuali Hayek)
boleh saja mengklaim bahwa keadilan mereka adalah “keadilan ssosial”. “Sosial”
oleh para penganut paham liberal dikembalikan lagi kepada makna asalnya seperti
yang dapat ditemukan dalam tulisan
Edmund Burke. Kebajikan-kebajikan materi negara liberal harus tetap
dilandasi pada prinsip mempertahankan kebebasan dan persamaan hak umum.
“Kebebasan
yang saya maksud adalah kebebasan sosial. Yaitu suatu keadaan di mana kekebasan
itu terjamin oleh adanya persamaan batasan; suatu keadaan di mana tak ada
manusia atau sekelompok manusia yang menggunakan kebebasannya sebagai alat
untuk melanggar kebebasan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
masyarakat. Kebebasan seperti pada hakikatnya adalah nama lain dari keadilan”
Lagi pula, istilah “sosial”
diambil dari bahasa Latin “societas” yang berarti masyarakat. Tentu saja
seluruh masyarakat harus dilayani, jadi bukan kepentingan-kepentingan
terorganisir yang menyalahgunakan kekuasaan politik untuk tujuan pribadi.
Seperti inilah pemahaman para bapak ekonomi pasar sosial (soziale
Marktwirtschaft) tentang istilah sosial tersebut ketika mereka menyatakan bahwa
sebuah negara liberal bukan menjadi kuat karena melayani egoisme-egoisme
kelompok, melainkan karena menentang egoisme-egoisme tersebut.
Kalau demikian, “keadilan sosial”
kiranya telah menjadi kebalikan dari apa yang dipahami politik dewasa ini
tentang istilah tersebut. “Keadilan sosial” pada dasarnya tidak lain daripada
keadilan.
Literatur
yang layak dibaca untuk topik “Keadilan Sosial”
Detmar Doering: Soziale Gerechtigkeit: Die
gefährliche Illusion? (Keadilan Sosial: Ilusi yang berbahaya?), dalam: Reflexion, nr. 29, April 1993, h.
27ff
Ringkasan singkat dan mudah
dibaca yang membongkar sifat arkeistik dari pandangan-pandangan populer tentang
“keadilan sosial”.
Friedrich August von Hayek: Recht, Gesetzgebung und
Freiheit (Hukum, Pembuatan Undang-Undang dan Kebebasan), edisi kedua, Muenchen (Penerbit Moderne
Industrie) 1986
Volume kedua dari trilogi
(aslinya dalam bahasa Inggris: Law, Legislation and Liberty, 1973ff) yang
meneliti secara filosofis-hukum asas-asas suatu masyarakat bebas dari aspek
liberal ini diberi judul yang tepat: “Ilusi Keadilan Sosial”.